Siapa disini yang anaknya sama sekali tidak bermain gadget? atau diusia berapa anak ibu pertama kali diperkenalkan pada gadget ?
Sekarang ini memang bisa kita lihat dengan jelas bahwa banyak anak-anak yang sudah memiliki gadgetnya sendiri. Baik itu di usia dini atau pada usia sekolah. Minimal anak sekarang ini tentengannya sudah smartphone.
Tidak ada yang salah jika kita melihat fenomena gadget pada anak ini, karena memang era nya pada masa kini sudah begitu. Tentu sebagai orang tua yang memegang kendali harus menyikapi perubahan itu dengan bijak dan penuh pertimbangan.
Fenomena Anak Usia Dini dan Gadget
Ini adalah suatu kegelisahan yang aku dapat ketika pulang kampung lebaran kemarin. Aku melihat banyak anak-anak di usia dini dan usia sekolah sudah bermain ponsel. Bahkan ketika mereka berkumpul bersama yang dilihat juga ponsel.
Sebagai generasi 90'an aku tentu saja merasa takjub dalam artian "wah anak-anak jaman sekarang mainannya sudah hape. Berbeda dengan aku dulu yang masih suka main tanah bahkan masak-masakan."
Aku pun mempunyai anak yang masih usia TK. Tentu saja dia juga bermain ponsel tapi dengan peraturan yang ketat ala ibunya.
Nah yang aku temui ketika pulang kampung adalah durasi mereka saat bermain ponsel itu bagiku sudah abnormal.
Jujur saja sebagai emak-emak berjiwa melarang gatel sekali rasanya ingin memberi tahu mereka untuk stop. Eh tapi aku kan bukan ibunya.
Alhasil anakku juga jadi ikutan dong. Ujung-ujungnya aku harus beradu argumen dulu sama anakku. Jiwa protes anakku auto keluar.
"Ibuk kok (sebut saja bunga) boleh nonton hape dari pagi? kok nawa ngga boleh?"
"(sebut saja bambang) aja boleh main hape malam-malam? kok nawa ngga boleh?"
Kesabaran yang setipis tisu ini harus diuji dengan berbagai pertanyaan bak kereta api. Auto berfikir memberikan pengertian pada anak. Susah loh menjawab pertanyaan anak seperti itu tanpa menjatuhkan anak lainnya.
Aku juga memberi ponsel kepada anakku tapi tetap dibatasi jam. Dia hanya boleh main ponsel di jam yang sudah kami sepakati. Diluar jam itu aku tidak pernah memberikannya. Meski dia merengek sekalipun.
Kondisi Kehidupan Desa dan Kota Yang Berbeda
Bisa aku bilang kehidupan di kota dan kehidupan di desa itu berbeda. Jadi tidak bisa kita samakan. Tidak bisa serta merta juga kita salahkan orang tuanya.
Aku bukanlah orang kota. Aku lahir dan dibesarkan di desa dengan kehidupan yang sederhana dan keras.
Tumbuh bersama kakek dan nenek yang tiap hari pergi ke sawah dan kebun atau ladang. Belum lagi selalu diajak mencari rumput untuk pakan sapi.
Karena kehidupan masa kecil yang melelahkan itulah aku bertekad tidak ingin merasakan kehidupan yang sama sampai dewasa ataupun sampai menikah.
Itulah kenapa begitu lulus sekolah aku langsung merantau ke kota. Merasakan bagaimana nikmatnya tinggal di kota.
Ketika melihat kehidupan anak-anak kini tentu saja jauh berbeda. Apalagi perkembangan teknologinya sangat berkembang pesat.
Kenapa aku bisa bilang tidak bisa serta merta menyalahkan orang tuanya ketika melihat anak usia dini di desa bermain ponsel?
Hidup di desa itu penuh kerja keras meski berlabel ibu rumah tangga. Belum lagi pandangan patriakinya.
Laki-laki seolah dianggap tabu membantu pekerjaan rumah istri, sementara istri yang membantu suami bekerja adalah suatu yang dianggap lumrah.
Justru yang tidak lumrah adalah hanya diam diri di rumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa. Alias momong anak doang.
Di desa itu kebanyakan masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani. Yang notabene bukan hanya lelaki saja yang bekerja ke ladang tapi juga sekeluarga yang pergi.
Ibu-ibu harus bangun pagi untuk memasak secara cepat agar bisa pergi ke ladang pagi hari. Kalau di kampungku sendiri berada di kebun itu bisa sampai tengah hari baru pulang. Itu sudah yang versi cepat.
Jelas jika jaman sekarang anak diberi HP agar bisa lebih anteng sehingga si ibu bisa bekerja dengan cepat tanpa diganggu. Atau takut anak-anak berkeliaran di ladang yang bisa membahayakan dirinya.
Sebaliknya jika hidup di kota berlabel ibu rumah tangga, ibu bisa fokus mengurus anak sampai memperhatikan tumbuh kembangnya.
Upgrade diri dengan belajar ilmu parenting. Bisa juga disambi bekerja dari rumah tanpa harus meninggalkan anak.
Fokus utama sebagai ibu adalah anak, sementara yang mencari nafkah adalah suami. Hal seperti ini sangat sulit jika diterapkan di desa.
Kesimpulan
Ketika aku mudik ke kampung aku menyoroti anak-anak yang bermain ponsel tanpa mengenal waktu. Tapi aku juga tidak bisa bilang kesalahan ada pada orang tuanya.
Memang yang bertanggung jawab terhadap anak adalah orang tua namun ada faktor kondisi juga yang harus dilihat.
Masyarakat desa pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani. Setidaknya ini di kampung suamiku dan juga kampung halamanku.
Sebagai petani kebun atau ladang hampir penghuni satu rumah itu pergi ke ladang. Suami, istri dan anak. Keduanya sama-sama bekerja mengurus ladang. Lalu demi membuat anak anteng tanpa mengganggu orang tua diberikanlah ponsel untuk menemani sang anak.
Kehidupan di desa dan kehidupan di kota tidak bisa kita samakan. Apalagi dalam hal pengasuhan anak. Karena ada faktor kondisi dan keterpaksaan yang turut hadir didalamnya.
Biasanya sih karena orang tua tidak mau ribet dengan kerewelan dan tidak punya waktu bermain dengan anak. Jadi anak dipegangi hp supaya anteng. Saya lebih pada kasihan kepada anak-anak itu. Kadang kalau sedang kumpul dan ada keponakan seperti itu, akan saya tegur. Lalu meminta mereka aktif bermain, karena ketemu sepupu.
BalasHapusSayangnya sekarang anak-anak udah mulai kecanduan gadget dan cenderung anti-sosial. Sangat butuh kontrol orang tua sih kalo si kecil udah mulai pegang gadget
BalasHapusSejak adanya pandemi, adanya sistem belajar daring, jadi pembenaran kalau anak SD udah pegang hp
BalasHapusYa begitu di desa atau kota, tergantung pribadinya juga sih ya
Nah saya bayangin orang dulu gimana ya.. eh apa karena itu ada iklan di tivi kalo ada tivi di pondok tengah sawah..hehe. meski nggak semua sih ya.. heran juga kadang yang bisa biarin anaknya seharian lihat hape vahkan kontennya yang bikin saya ngeluh dada. Anak saya juga suka protes tuh bandingkan sama temennya.. kalo saya kesal malah saya bilang.. "enak tho jadi temenmu.. gimana tinggal sama temenmu aja ta?" Wkwkwwkwk
BalasHapusNgomongin gadget memang sudah tidak ada bedanya antara anak-anak di desa dan di kota. Sama-sama. Makinaprah sih. Makin tidak terkontrol. Bayangkan saja, di desa anak-anak sudah mulai berkelompok, bareng-bareng main game online
BalasHapusSikon dan lingkungan punya pengaruh kuat ya kak untuk anak. Apalagi melihat kondisi jaman now ini, memang gak bisa dipungkiri bahwa "apa-apa gadget"
BalasHapusDukungan semua pihak sih, termasuk si anaknya juga untuk bisa membatasinya
Adikku yang sudah SMA saja masih suka kubatasi waktu bermain gadgetnya. Karena kalau nggak gitu, dia bisa seharian main gadget pas libur sekolah. Mana tuh libur sekolahnya 2 hari. sabtu dan minggu
BalasHapusAnak saya dulu tidak memainkan gadget sampai usia SD. Tapi memang ngasuhnya capek dan rumah selalu berantakan.
BalasHapusWaktu anak pertama, no gadget sampai kelas 4 saja. Kelas 5 dia punya hp sendiri (hasil nabung uang jajan dan thr). Bukan gaya-gayaan sih, tapi dia butuh buat mewawancara narasumber (dia wartawan cilik di koran). Tapi baru hp aja, belum dengan akses internet. Kalau yang bisa internetan baru ketika SMP.
BalasHapusEmg bener sih. Itu jg terjadi di rata2 tetanggaku yg pny anak di desa. Emg biar anak mkn anteng, ga berlarian sana sini meski sehat jg loh, jd dikasih gadget.
BalasHapusEmg ada plus minus sih si kecil dikasih gadget. Si kecil jd ga bs bersosialisasi secara nyata krn lbh nyman berkomunikasi dgn gawainya. Plusnya, si anak bs nambah kosakata dr tontonan yg dilihatnya. Emg sih ada kata2 yg ga baik yg bs ditiru anak. Makanya ortu bbrp waktu jg wajib mendampingi anak terhadap tayangan yg ditontonnya. Atau kasih proteksi thd tayangan yg blm pantas ditontonnya.
Aaaahh anakku jg sempet tanya kayak gitu, kok Isya gaboleh main hape tapi ibu main hape? kujelaskan bahwa ibu sedang tidak bermain, tapi lagi kerja, pegang laptop juga kerja cari uang untuk bantu Bapak bayar sekolah, beli sepatu, tas, jajan, mainan, dan alhamdulillah akhirnya dia paham dan mengerti, apalagi kalo pas aku kerja pegang laptop dan hape, dia nanya dlu, ibuk lagi kerja ya? Mau ngga main sama Isya dlu? wkwkwkwk aaah tersentil, dan akhirnya tutup gadget dlu deh
BalasHapusKalau punya sendiri sih aku masih mengikuti aturan di internet ya, minimal 13 tahun. Bukan soal di desa atau kota, sih. Lebih melihat apakah butuh atau enggak.
BalasHapusDi kota atau pun di desa, anak-anak sekarang sudah terbiasa dengan gadget dalam kehidupan sehari-harinya. Tinggal yang membedakan adalah didikan dan aturan yang orang tua, mulai dari yang mentidak bolehkan, membatasi pemakaian, atau bahkan membebaskan dalam pemakaiannya
BalasHapusKayaknya sama aja sih menurutku di kota dan di desa. Hampir semua anak terbiasa dgn gadget. Akhirnya, semuanya balik lagi ke pola asuh masing-masing orang tua.
BalasHapus